Minggu, 23 Oktober 2016

Jenis promosi yang tidak beretika pada iklan Sosis So Nice Versi JMS



Nama : Yustria Ningsih
NPM : 19213631
Kelas : 4EA11
Mata Kuliah : Etika Bisnis #softskill
Jenis promosi yang tidak beretika pada iklan
Sosis So Nice Versi JMS
Pendahuluan

Kehadiran stasiun televisi swasta di Indonesia telah merubah pola  pikir para pemasar yang ingin melakukan periklanan secara intensif untuk  meningkatkan  brand  loyalty  serta  brand  recall produk produk mereka di  mata konsumen. Pada awalnya periklanan hanya dapat dilakukan di media radio, surat kabar, koran atau majalah, pamflet- pamflet maupun selebaran  yang diedarkan kepada konsumen. Namun sejak  munculnya stasiun TV  swasta, para  pemasar  mulai mengalihkan periklanan  mereka ke di televisi,  karena televisi dianggap mampu  menampilkan  pesan,-pesan  yang  ingin  disampaikan pemasar ke konsumen secara lebih efektif.

PEMBAHASAN
Reaksi Masyarakat Terdapat enam poin bahasan yang menyangkut reaksi masyarakat Indonesia mengenai iklan sebagai kasus etika periklanan, diantaranya:
 1. Fungsi Periklanan Iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua fungsi:
a. Fungsi informatif
b. Fungsi persuasif. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang apartemen dan iklan tentang harga diterjen. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsur persuasif yang lebih kuat, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah.
 2. Periklanan dan kebenaran Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, sering sekali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan ungkapan tersendiri. Iklan ingin menjelaskan bahwa produknya adalah yang terbaik dan nomor satu di dalam persaingan industrinya. Bahasa periklanan umumnya memiliki sifat superlative dan hiperbola. Sebenarnya perusahaan yang mengiklankan tidak memiliki maksud untuk masyarakat langsung percaya begitu saja. Maka dari konsumen sebenarnya perlu tahu bahwa ungkapan- ungkapan yang disampaikan dalam iklan tidak perlu diartikan secara harfiah. Terkadang iklan tidak saja menyesatkan dengan membohongi, misalnya saja sering membiarkan begitu saja tanpa diketahui konsumen mengenai sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas seperti berikut ini: “Seluru kendaraan mobil yang kami jual, diperiksa terlebih dahulu oleh montir ahli” Apabila iklan tersebut benar, tapi montir yang bersangkutan tidak berbuat apapun jika menemukan sesuatu yang tidak beres dan serius pada suatu mobil. Hal ini yang menyebabkan ketidak etisan dalam suatu iklan. Intinya, kebenaran dalam sebuah iklan sulit diselesaikan dengan arti benar atau salah. Hal ini menyangkut bagaimana konsumen untuk menerimanya atau tidak.
 3. Iklan yang ditargetkan untuk anak Iklan yang ditujukan kepada anak-anak sebenarnya bisa dianggap kurang etis, Karena seorang anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja akan tetapi bisa mencuci otak para anak mengenai cara pandang yang kurang baik, sehingga akan mempengaruhi pikiran-pikiran mereka.
4. Pengawasan Iklan Dalam bisnis periklanan, dibutuhka adanya pengawasan tepat yang dapat mengimbangi ketidak etisan dalam iklan. Pengawasan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk 3 cara:
 a. Kontrol dari pemerinah Pemerintah Indonesia perlu mengawasi praktek periklanan antara lain adanya Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I). Selain itu di Indonesia iklan pun diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. Sehingga produk-produk untuk makanan aman untuk dikonsumsi.
 b. Kontrol dari perusahaan yang bersangkutan atau pengiklan Cara paling tepat untuk menuntaska masalah etika dalam periklanan adalah melalui self regulation oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya  oleh asosiasi biro-biro periklanan. Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia.
 c. Kontrol dari masyarakat atau konsumen Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi etika dalam periklanan. Dengan keberadaan lembaga-lembaga konsumen, dapat meminimalisir efek-efek negatif dari adanya ketidak etisan dalam iklan. Adanya laporan dari lembaga konsumen mengenai suatu produk dan jasa sangat penting untuk kontrol mengenai kualitas dan kebenaran dari periklanan tersebut. Terdapat cara yang positif untuk meningkatkan kualitas dari sebuah iklan yaitu melalui pemberian award untuk iklan yang dianggap paling baik. Di Indonesia terdapat Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
5. Penilaian etis iklan Ada empat dalam menerapkan prinsip-prinsip etika untuk membentuk penilaian etis yang seimbang dalam iklan.  Tujuan· Jika tujuan pengiklan tidak baik, secara otomatis moralitas iklan menjadi tidak baik. Jika tujuan pengiklan untuk menyesatkan, maka iklannya menjadi tidak etis.  Isi iklan· Iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi.  Keadaan konsumen· Kualitas konsumen secara keseluruhan berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana pendidikan rata- rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Beberapa Kasus Etika Periklanan Sebelum membahas iklan di televisi yang dinilai melanggar aturan, berikut ada beberapa peraturan EPI (Etika Periklanan Indonesia) yang diterbitkan oleh PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) untuk selengkapnya bisa dilihat di www.pppi.or.id.
Bahasa
Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.
Tanda Asteris (*)
Tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk.
  Penggunaan Kata "Satu-satunya" Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "satu-satunya" atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. 
Pemakaian Kata "Gratis" Kata "gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
Pencantum Harga Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
Garansi jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar- dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan.  Janji Pengembalian Uang (warranty) Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen.
 Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
 Rasa Takut dan Takhayul Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
Kekerasan Iklan tidak boleh langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan. Dari beberapa unsur etika dan etika periklanan diatas, berikut ini terdapat contoh iklan di televisi yang dinilai melanggar unsur etika maupun etika periklanan:

 Sosis So Nice Versi JMS Iklan So Nice selalu up to date mengganti model iklannya dengan bintang atau artis yang sedang tenar waktu itu. Terakhir setelah Olimpiade London, model iklan diganti dengan atlet pemenang angkat besi Indonesia dengan tagline “JMS, Juara Makan So Nice”. Dan  parahnya  lagi si atlet berkata, “Ingin jadi juara seperti kita? Makan So Nice”. Menurut saya iklan ini menggunakan bahasa yang kurang dimengerti masyarakat dan kurang bertanggungjawab. Jika ada penonton yang makan So Nice banyak lalu tidak menjadi juara lantas siapa yang bertanggung jawab pada akhirnya?

KESIMPULAN  Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri· mencakup  pokok-pokok bahasan yang menyangkut respon masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan .  Iklan mempunyai unsur promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon· pembeli. Karena itu bahasa periklanan  mempergunakan  ungkapan-ungkapan tersendiri.  Tiadak hanya KPI dan BPP yang aktif tetapi masyarakat juga kritis memberi masukan· atas semua tayangan yang disiarkan termasuk iklan. Jika mendapat teguran, pihak televisi harus mengevaluasi dan biro iklan harus bisa membuat iklan sesuai dengan etika periklanan karena pada kenyataannya tidak ada peraturan yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA http://kpi.go.id http://ekhalpiant.blogspot.com/2012/04/menganalisis-suatu-media-yang-sedang.html http://apaanyas-blog.blogspot.com/2012/01/vid-iklan-televisi-sarat-kontroversi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar