Nama : Yustria Ningsih
NPM : 19213631
Kelas : 4EA11
Mata Kuliah : Etika Bisnis #softskill
Jenis promosi yang tidak beretika pada iklan
Sosis So Nice Versi JMS
Pendahuluan
Kehadiran stasiun televisi swasta di
Indonesia telah merubah pola pikir para
pemasar yang ingin melakukan periklanan secara intensif untuk meningkatkan brand loyalty
serta brand recall produk produk mereka di mata konsumen. Pada awalnya periklanan hanya
dapat dilakukan di media radio, surat kabar, koran atau majalah, pamflet- pamflet
maupun selebaran yang diedarkan kepada
konsumen. Namun sejak munculnya stasiun
TV swasta, para pemasar mulai mengalihkan periklanan mereka ke di televisi, karena televisi dianggap mampu menampilkan pesan,-pesan yang ingin disampaikan
pemasar ke konsumen secara lebih efektif.
PEMBAHASAN
Reaksi Masyarakat
Terdapat enam poin bahasan yang menyangkut reaksi masyarakat Indonesia mengenai
iklan sebagai kasus etika periklanan, diantaranya:
1. Fungsi Periklanan Iklan dipandang sebagai
upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan
pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua
fungsi:
a. Fungsi informatif
b. Fungsi persuasif.
Akan tetapi dalam kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan
tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya
mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang apartemen dan iklan
tentang harga diterjen. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya
akan memiliki unsur persuasif yang lebih kuat, seperti iklan tentang pakaian
bermerek dan rumah.
2. Periklanan dan kebenaran Pada umumnya
periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang
kebenaran. Sebaliknya, sering sekali iklan terkesan suka membohongi,
menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsur promosi. Iklan
merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa
periklanan mempergunakan ungkapan tersendiri. Iklan ingin menjelaskan bahwa
produknya adalah yang terbaik dan nomor satu di dalam persaingan industrinya.
Bahasa periklanan umumnya memiliki sifat superlative dan hiperbola. Sebenarnya
perusahaan yang mengiklankan tidak memiliki maksud untuk masyarakat langsung
percaya begitu saja. Maka dari konsumen sebenarnya perlu tahu bahwa ungkapan-
ungkapan yang disampaikan dalam iklan tidak perlu diartikan secara harfiah. Terkadang
iklan tidak saja menyesatkan dengan membohongi, misalnya saja sering membiarkan
begitu saja tanpa diketahui konsumen mengenai sesuatu yang sebenarnya penting
untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas seperti berikut ini:
“Seluru kendaraan mobil yang kami jual, diperiksa terlebih dahulu oleh montir
ahli” Apabila iklan tersebut benar, tapi montir yang bersangkutan tidak berbuat
apapun jika menemukan sesuatu yang tidak beres dan serius pada suatu mobil. Hal
ini yang menyebabkan ketidak etisan dalam suatu iklan. Intinya, kebenaran dalam
sebuah iklan sulit diselesaikan dengan arti benar atau salah. Hal ini
menyangkut bagaimana konsumen untuk menerimanya atau tidak.
3. Iklan yang ditargetkan untuk anak Iklan
yang ditujukan kepada anak-anak sebenarnya bisa dianggap kurang etis, Karena
seorang anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung
kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja akan tetapi bisa
mencuci otak para anak mengenai cara pandang yang kurang baik, sehingga akan
mempengaruhi pikiran-pikiran mereka.
4. Pengawasan Iklan
Dalam bisnis periklanan, dibutuhka adanya pengawasan tepat yang dapat
mengimbangi ketidak etisan dalam iklan. Pengawasan tersebut bisa dilakukan
dalam bentuk 3 cara:
a. Kontrol dari pemerinah Pemerintah Indonesia
perlu mengawasi praktek periklanan antara lain adanya Badan Pengawas Periklanan
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I). Selain itu di Indonesia
iklan pun diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM)
dari Departemen Kesehatan. Sehingga produk-produk untuk makanan aman untuk
dikonsumsi.
b. Kontrol dari perusahaan yang bersangkutan
atau pengiklan Cara paling tepat untuk menuntaska masalah etika dalam
periklanan adalah melalui self regulation oleh dunia periklanan. Biasanya
dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang
disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Jika suatu
kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia
pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia.
c. Kontrol dari masyarakat atau konsumen
Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi etika dalam periklanan. Dengan
keberadaan lembaga-lembaga konsumen, dapat meminimalisir efek-efek negatif dari
adanya ketidak etisan dalam iklan. Adanya laporan dari lembaga konsumen
mengenai suatu produk dan jasa sangat penting untuk kontrol mengenai kualitas
dan kebenaran dari periklanan tersebut. Terdapat cara yang positif untuk
meningkatkan kualitas dari sebuah iklan yaitu melalui pemberian award untuk
iklan yang dianggap paling baik. Di Indonesia terdapat Citra Adhi Pariwara yang
setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
5. Penilaian etis iklan
Ada empat dalam menerapkan prinsip-prinsip etika untuk membentuk penilaian etis
yang seimbang dalam iklan. Tujuan· Jika
tujuan pengiklan tidak baik, secara otomatis moralitas iklan menjadi tidak
baik. Jika tujuan pengiklan untuk menyesatkan, maka iklannya menjadi tidak etis. Isi iklan· Iklan harus benar dan tidak boleh
mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis bila mendiamkan
sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan
bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi.
Keadaan konsumen· Kualitas konsumen secara keseluruhan berbeda. Dalam
masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana
yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam
masyarakat dimana pendidikan rata- rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih
maju. Beberapa Kasus Etika Periklanan Sebelum membahas iklan di televisi yang
dinilai melanggar aturan, berikut ada beberapa peraturan EPI (Etika Periklanan
Indonesia) yang diterbitkan oleh PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia) untuk selengkapnya bisa dilihat di www.pppi.or.id.
Bahasa
Iklan harus disajikan
dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan
persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang
dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.
Tanda Asteris (*)
Tanda asteris pada
iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan,
membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga
sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan
sesuatu produk.
Penggunaan Kata "Satu-satunya" Iklan
tidak boleh menggunakan kata-kata "satu-satunya" atau yang bermakna
sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang
satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
Pemakaian Kata "Gratis" Kata "gratis" atau kata lain
yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen
harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga
harus dicantumkan dengan jelas.
Pencantum Harga Jika
harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan
jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga
tersebut.
Garansi jika suatu
iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-
dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan. Janji Pengembalian Uang (warranty) Jika suatu
iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang
ternyata mengecewakan konsumen.
Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus
dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau
kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
Rasa Takut dan Takhayul Iklan tidak boleh
menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan
orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
Kekerasan Iklan tidak
boleh langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang
merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan. Dari
beberapa unsur etika dan etika periklanan diatas, berikut ini terdapat
contoh iklan di televisi yang dinilai melanggar unsur etika maupun etika periklanan:
Sosis So Nice Versi JMS
Iklan So Nice selalu up to date mengganti model iklannya dengan bintang atau
artis yang sedang tenar waktu itu. Terakhir setelah Olimpiade London, model
iklan diganti dengan atlet pemenang angkat besi Indonesia dengan tagline “JMS,
Juara Makan So Nice”. Dan parahnya lagi si atlet berkata, “Ingin jadi juara
seperti kita? Makan So Nice”. Menurut saya iklan ini menggunakan bahasa yang
kurang dimengerti masyarakat dan kurang bertanggungjawab. Jika ada penonton
yang makan So Nice banyak lalu tidak menjadi juara lantas siapa yang bertanggung
jawab pada akhirnya?
KESIMPULAN Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari
etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri· mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut respon
masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika
periklanan . Iklan mempunyai unsur
promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon· pembeli. Karena
itu bahasa periklanan mempergunakan ungkapan-ungkapan tersendiri. Tiadak hanya KPI dan BPP yang aktif tetapi
masyarakat juga kritis memberi masukan· atas semua tayangan yang disiarkan
termasuk iklan. Jika mendapat teguran, pihak televisi harus mengevaluasi dan biro
iklan harus bisa membuat iklan sesuai dengan etika periklanan karena pada
kenyataannya tidak ada peraturan yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
http://kpi.go.id
http://ekhalpiant.blogspot.com/2012/04/menganalisis-suatu-media-yang-sedang.html
http://apaanyas-blog.blogspot.com/2012/01/vid-iklan-televisi-sarat-kontroversi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar